Belum sebulan sejak kembalinya saya ke Indonesia, datang ajakan naik gunung tiba dari seorang teman bernama Kapten. Dia mengajak saya untuk mendaki gunung Lawu. Tentu saja dengan senang hati saya bilang “OK”. Ini adalah kali pertama saya mendaki gunung Lawu.
Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan salah satu kota terdekat yang paling gampang aksesnya dari Gunung Lawu adalah Surakarta aka Solo. Gunung Lawu memiliki 4 jalur yang dapat ditempuh untuk melakukan pendakian, yaitu jalur Cemoro Sewu, Cemoro Kandang dan Candi Cetho dan Jogorogo. Pada kesempatan kali ini, kami ingin melintasi jalur. Rencananya, kami akan mendaki melalui cemoro sewu, tiba di puncak Hargo Dumilah, dan turun gunung melalui jalur Candi Cetho. Tentu saja dengan tujuan agar dapat mengunjungi sabana yang indah.
Kamis sore pada bulan April 2019 kami berkumpul di Stasiun Pasar Senin dan menaiki kereta Brantas yang murah meriah menuju Solo. Perjalanan ini menempuh waktu kurang lebih 10 jam. Kami tiba di Solo pada pukul 2 malam dan langsung disambut oleh mobil sewaan kami. Dari sini kami tidak langsung memulai perjalanan menuju basecamp, melainkan menuju angkringan untuk mengisi perut yang keroncongan di dini hari. Selanjutnya, kami beristirahat hingga pagi di suatu tempat bernama Rumah Barata. Rumah Barata adalah sebuah kos-kosan yang berfungsi juga sebagai art space. Rencananya kami akan bangun pagi pada pukul 6 dan berkekas pada pukul 7. Dengan harapan bisa memulai perjalanan pada pukul 8 pagi.
Namun apa daya, rencana hanyalah rencana kaleng-kaleng. Kami bangun kesiangan dan masih malas melakukan perjalanan. Alhasil, kami berhasil tiba di base camp Cemoro Sewu sekitar pukul jam 11 dan setelah itu kami baru melakukan sarapan. Ditambah, orang yang bertugas di loket basecamp sedang tidak berada ditempatnya. Mau tidak mau, kami harus menunggu dia untuk melakukan perjalanan. Akhirnya kami dapat memulai pendakian pada pukul 1 siang. Rencana berangkat jam 8 pagi tereksekusi menjadi berangkat jam 1 siang. Hahaahhaa…
Biaya masuk gunung Lawu (simaksi) adalah Rp. 15.000 per orang, dengan izin inap semalam (seharusnya, karena kenyataannya banyak juga pendaki yang stay 2 malam). Bayarnya langsung di TKP, jadi tidak diperlukan reservasi awal.
Pendakian menuju puncak melalui jalur Cemoro Sewu tidak terlalu berat, jalurnya berupa tangga berbatu dan terlihat jelas. Jalur ini adalah opsi yang paling praktis bagi orang yang pertama kali mendaki ke Gunung Lawu. Jalur ini terdiri dari 5 pos. Jarak terjauh adalah jarak dari basecamp menuju post 1 dan dari post 1 menuju pos 2. Hanya saja jarak dari pos 1 ke pos 2 termasuk agak landai. Yang menarik, di pos ke 2 terdapat sebuah warung! Anda bisa membeli gorengan atau bersantai sejenak sambil ngemilin makanan atau minuman.
Sesungguhnya, pendakian baru berasa ketika kita tiba di pos 2 menuju pos 4. Jalurnya mulai terjal dan melelahkan. Jalurnya tidak terlalu lebat, namun agak tertutup. Dari pos 2 ke 3 dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam, begitu juga dari pos 3 ke 4. Sialnya, kami sempat terpencar menjadi 3 grup. 3 orang di depan, 1 orang di tengah dan 2 orang di belakang. Nah, nasib membawa saya menjadi yang di tengah sendirian. Terpencarnya kami bukan karena keinginan semata, melainkan stamina. Ada gap stamina yang besar antara si perokok dan non perokok. hahaha.. Saya memulai perjalanan ini sekitar pukul setengah 6, dan tiba sekitar jam 7. Bermodalkan senter hp saya naik sendirian. Pos 4 ke pos 5 berjarak sangat dekat. Terlalu dekat jika dibandingkan dengan jarak pos 3 ke 4.
Secara keseluruhan, pendakian ini bisa dicapai dalam waktu 5-6 jam dengan pendakian santai. Rombongan kami tiba di Pos 5 sekitar jam 7. Dengan catatan, kami tergolong pendaki yang santai dan tidak terlalu mengebut. Bahkan di setiap pos kami sering berhenti selama 20-30 menit hanya untuk bersantai. Di Pos 5 kami memasang tenda dan bermalam. Untuk mengambil air kami harus berjalan kurang lebih 500 menuju ke Sendang Derajat, di mana terletak sumber air dan sebuah warung. Sendang Derajat dikenal sebagai tempat ritual para raja. Masyarakat setempat percaya bahwa Sendang Drajat adalah tempat keramat memiliki kaitan erat dengan Prabu Brawijaya. Kemungkinan besar, Prabu Brawijaya yang dimaksud adalah Brawijaya V (keturunan Raden Wijaya dari Majapahit ) atau Prabu Bhre Kertabumi (1468 – 1478). Dari nama beliaulah Universitas Brawijaya Malang diambil.
Di hari kedua, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Hargo Dumilah. Rute yang kami lalui adalah menuju Hargo Dalem (yang lebih dikenal akan warung Mbok Yem), menitipkan Carrier di warung tersebut, lalu menuju puncak Hargo Dumilah, kembali ke warung, dan melanjutkan turun gunung melalui jalur. Perjalanan ke puncak memakan waktu kurang dari 1 jam. Di puncak yang berketinggian 3.265 mdpl ini kami menyempatkan diri untuk berfoto ria, bercerita, dan bersantai sejenak. Sejujurnya, saya berekspektasi lebih untuk melihat keindahan yang terlihat puncak tersebut. Ternyata, pemandangan yang terindah dari pendakian ini bukanlah di puncak, melainkan setelahnya. hehehe.. (bersambung..)